Price Sensitivity
![]() |
| Princing Strategy |
CarpeDiem - Apakah pelanggan menolak
membeli? Jika layanan dan produk sudah prima, tapi pelanggan masih tidak mau
membeli, biasanya masalahnya tidak jauh dari “Price Sensitivity”. Menghadapi
pelanggan yang sensitif terhadap harga tak selalu harus direspon dengan
menurunkan harga. Sebaliknya strategi menaikkan harga justru sering dianggap
lebih jitu untuk solusi jangka panjang.
Ada kasus dimana pelanggan kerap
berkomentar negatif atau ngomel ketika membayar produk yang dibeli, padahal
perusahaan menganggap harga yang ditetapkan sudah pantas. Setiap kali punya
waktu luang, sebaiknya segera digunakan untuk mengunjungi divisi penjualan
karena bagian itulah yang biasanya paling tahu dengan masalah penjualan dan
harga. Jangan lupa pula untuk meneliti ulang seberapa niche dan siapa sebenarnya target market-nya.
Mengapa demikian? Kemungkinan besar
masalahnya ada pada harga yang membuat pelanggan menjadi “sensitif”. Ini
saatnya untuk mempelajari “price sensitivity”,
supaya pelanggan bisa senang untuk membeli produk Anda. Jangan sampai pelanggan
menganggap harga yang ditetapkan tidak masuk akal, alias jumlah uang yang
mereka keluarkan dianggap tidak sepadan untuk suatu produk atau layanan.
Prinsipnya, semakin tinggi price sensitivity, semakin mudah pelanggan akan menolak
untuk membeli. Begitu pun sebaliknya, semakin rendah price sensitivity, semakin pelanggan rela untuk membeli
suatu produk atau layanan, dan bahkan rela untuk membayar lebih banyak untuk
mendapatkan kualitas yang mereka inginkan.
Jika berurusan dengan pelanggan yang
sangat sensitif terhadap harga, kita harus benar-benar memahami apa yang mereka
harapkan, bagaimana kompetisi yang sedang terjadi di pasar, dan bagaimana kita
bisa menambahkan value pada produk atau layanan
supaya bisa menutupi price sensitivity yang
tinggi tersebut. Semakin tinggi price sensitivity,
bisa diartikan semakin besar pula kendali yang dimiliki konsumen.
Dalam kasus taxi Blue Bird dan Silver
Bird, ada beberapa pelanggan punya price sensitivity yang
tinggi terhadap taxi Silver Bird sehingga memutuskan untuk tidak menggunakan
layanan itu dan memilih naik Blue Bird sebagai gantinya. Sebaliknya ada juga
pelanggan yang punya price sensitivity rendah
terhadap taxi Silver Bird, sehingga mereka rela membayar lebih untuk
mendapatkan pelayanan dan kualitas lebih dari taxi Silver Bird. Tentu saja ada
banyak faktor lain lagi yang mempengaruhi setiap pengambilan keputusan
tersebut.
Apa itu Price Sensitivity?
Jadi apa sebenarnya price sensitivity itu? Dengan mudah bisa
dijelaskan, adalah tingkatan dimana dan bagaimana perilaku konsumen bisa
dipengaruhi oleh harga suatu produk atau layanan. Price sensitivity juga dikenal dengan
istilah price elasticity dari demand yang ada. Ini berarti seberapa jauh
penjualan dari suatu produk bisa terpengaruh oleh harga. Kesimpulannya, demand yang ada di pasar bisa berubah hanya karena
faktor harga.
Dengan mempelajari price sensitivity, kita bisa terbantu juga dalam
memahami perilaku pelanggan sehingga bisa membantu mereka mengambil keputusan
yang tepat untuk membeli. Pihak produsen pun bisa terbantu dalam memahami
bagaimana mereka harus memproduksi suatu produk dan menyesuaikannya dengan
permintaan (demand), biaya, kualitas, dan lain-lain.
Tingkatan price sensitivity bisa
beragam, tergantung pada apa produk dan siapa konsumennya.
Kita bisa lihat walaupun banyak merek
penerbangan murah (low cost carrier / flights) seperti
AirAsia atau Lion Air, tapi penerbangan yang mempunyai harga tinggi atau mahal
pun, seperti Garuda atau Singapore Airlines, ternyata tidak kehilangan
pelanggan setianya. Dengan kata lain demand untuk
industri penerbangan premium pun tak tergerus oleh meningkatnya demand penerbangan murah.
Apa Saja yang Mempengaruhi Price
Sensitivity?
Apa saja faktor-faktor yang
mempengaruhi price sensitivity? Semua faktor
tersebut bervariasi tergantung dari industri, geografis, kompetitor, ekonomi,
serta emosional dan kebutuhan pelanggan.
Satu faktor penting yang
mempengaruhi price sensitivity terletak
pada urutan proses pengambilan keputusan untuk membeli. Pada tahap pertama si
konsumen pasti harus merasa bahwa ia membutuhkan atau menginginkan suatu
produk. Setelah itu baru ia akan mencari-cari informasi lewat channel yang biasa digunakan. Dengan segala
informasi yang sudah terkumpul, si konsumen lalu menentukan pilihan apa saja
yang ia punyai sebelum melanjutkan. Nah, di tahap ketiga inilah price sensitivity mulai berperan, dan ini adalah
tahap krusial dimana Anda bisa jadi kehilangan konsumen.
Tahap selanjutnya adalah pembelian,
dimana si konsumen akan memutuskan untuk membeli. Setelah membeli, si konsumen
memutuskan apakah ia puas atau tidak, apakah produknya sesuai harapan atau
tidak, dan lain-lain. Jika ada rasa penyesalan, maka si konsumen bisa jadi
meminta kembali uangnya, mengembalikan produk yang dibeli, atau mengajukan
keluhan lewat channel yang ia sukai.
Selain tahap ketiga, di tahap kedua
pun price sensitivity seorang konsumen sudah mulai
terpengaruh. Ini karena mereka bisa membanding-bandingkan produk dari sisi
harga. Sedangkan pada tahap terakhir, perusahaan sebenarnya bisa berusaha untuk
memperbaiki kesalahannya apabila ada, dengan memberikan after-sale serviceatau customer
support yang bagus. Dengan kata lain masih ada kemungkinan
besar untuk mendapatkan customer loyalty di
tahap ini.
Lalu faktor lain yang bisa
mempengaruhi price sensitivity adalah
seberapa unik produk Anda di pasar. Jika kategori produk termasuk umum, maka si
konsumen akan mempunyai price sensitivity yang
lebih tinggi karena mereka punya lebih banyak pilihan. Ditambah lagi dengan
tersedianya beragam channel bagi si
konsumen untuk melakukan riset dan membanding-bandingkan harga, mereka punya
kendali lebih untuk mendapatkan produk yang diinginkan dengan harga terbaik
menurut mereka – Best price best value.
Semakin produk Anda bersifat komoditas
umum, seperti air, minyak, makanan, maka persaingan di pasar biasanya sudah
penuh dan sesak. Merek-merek produk minyak goreng atau air mineral misalnya
harus lebih berhati-hati dalam menjaga price sensitivity,
karena konsumen kini dengan mudah beralih ke produk lain.
Suatu merek bisa jadi sudah menancap
kuat di benak konsumen dan mereka jadi sudah “terbiasa” membeli merek tersebut.
Tapi jika suatu hari mereka sadar bahwa harga produk tersebut sudah tak sepadan
dengan kualitasnya jika dibandingkan merek produk lain, maka bersiaplah
kehilangan pelanggan.
Di sisi lain, contoh merek Starbucks
misalnya, walaupun bermain di kategori produk yang sudah umum, yaitu kopi dan
makanan ringan, tapi strategi branding Starbucks
mampu menutupi semua kekurangan kategori produk yang tergolong umum tersebut.
Pelanggan tidak lagi membeli produk, tapi sudah membeli “merek Starbucks”. Jadi
semua pelanggan Starbucks biasanya mempunyai price sensitivity yang
kecil terhadap produk-produk Starbucks. Walaupun tahu harga kopinya mahal,
mereka tetap senang membeli di sana.
Bagaimana Menurunkan Price
Sensitivity?
Mengingat hal ini, tentu kebanyakan
orang berpikir untuk menurunkan harga supaya price sensitivity bisa
turun. Ternyata solusinya tidak demikian. Menurunkan harga hingga terkesan
murah tidak selalu bisa memecahkan masalah, malah bisa jadi menciptakan masalah
baru. Ini karena tindakan tersebut bisa melukai margin profit, sementara
konsumen pasti tetap mengharapkan kualitas produk yang sama tapi dengan harga
termurah. Konsumen tahu Anda bisa menurunkan harga, berarti mereka menganggap
batas margin profit Anda masih tinggi.
Sebaliknya, jika disiasati dengan
tindakan menaikkan harga, Anda harus punya alasan kuat mengapa hal tersebut
dilakukan. Jika tidak, konsumen akan memandangnya sebagai tindakan negatif,
bahkan jika harga itu masih dianggap rendah atau kompetitif sekalipun. Dalam
mensiasati price sensitivity juga harus
menghindari kesan perang harga.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas
tentang kopi Starbucks, perusahaan harus memberikan kesan bahwa mereka sedang
membangun merek, serta mendongkrak kepuasan pelanggan sekaligus
menciptakan brand loyalty. Ini berarti commit menempatkan kualitas di atas semua
kompetitor, memulai tren baru, atau menciptakan story positif
di sekitar merek Anda.
Ketika pelanggan dihadapkan pada
beberapa pilihan untuk produk yang sama, mereka seringkali kembali pada merek
yang sudah mereka sukai sejak lama (loyalty). Semakin
banyak pilihan yang disodorkan maka semakin sulit untuk mengambil keputusan.
Oleh karena itu, jika ada semakin banyak pilihan, konsumen cenderung akan
kembali pada produk yang sudah mereka kenal dan sukai daripada mengambil risiko
mencoba produk baru dan belum dikenal (walaupun harganya lebih murah
sekalipun). Konsumen terbukti lebih responsif terhadap merek, apalagi ada
keterikatan emosional di sana, daripada dengan harga yang lebih murah.
Oleh karena itu, alih-alih menurunkan
harga, justru naikkanlah harga, tapi dibarengi dengan aktivitas brandingyang jitu dan terencana. Apakah merek Anda
sudah kredibel? Mudah diingat? Apakah pelanggan setia dengan merek Anda? Dengan
kata lain, fokuslah pada kualitas daripada perang harga.
Dengan adanya teknologi pencarian
online, harga-harga produk yang tertera pada setiap iklan mungkin bisa
meningkatkan price sensitivity. Ini karena
konsumen jadi terbiasa melihat segala sesuatu hanya dari sisi harga saja.
Tetapi ini bisa disiasati jika perusahaan menyediakan informasi yang cukup pada
konsumen tentang kualitas dan brand equity yang
bagus pada produknya. Dengan demikian price sensitivity bisa
diturunkan dan perusahaan justru bisa menaikkan harga. Usahakan bagaimana
pelanggan bisa melihat produk dari sisi kualitas dan value-nya, dan bukan dari sisi harganya.
Satu hal lagi, fokuslah pada benefit daripada fitur. Jangan terpancing dengan
para kompetitor sehingga Anda hanya perang fitur saja, padahal fitur tertentu
belum tentu dibutuhkan pelanggan. Sebaliknya, fokuslah pada benefit untuk memenuhi kebutuhan dan memberi
solusi pada pelanggan. Informasikan bagaimana produk bisa memecahkan masalah
yang sedang dihadapi pelanggan dan bagaimana pelanggan bisa mendapatkan solusi
yang sesuai dengan keperluan mereka.

Komentar
Posting Komentar