Perusahaan Migas dan Pengembang Properti Asia Lalui 2014 Dengan Beban
Sepanjang tahun ini, perusahaan-perusahaan
Asia telah menerbitkan obligasi dengan jumlah yang menembus rekor baru,
namun sejumlah surat utang tersebut mulai menjadi beban setelah terjadi
penurunan harga minyak dan guncangan di pasar perumahan, terutama pada
perusahaan energi dan pengembang properti.
Menurut data Dealogic, hingga pertengahan Desember lalu, perusahaan minyak dan gas, serta pengembang properti Asia merupakan penerbit surat utang terbesar dengan jumlah utang mencapai US$50 miliar. Jumlah tersebut setara dengan 44 persen total penerbitan obligasi dalam dolar AS, euro dan yen, seluruh perusahaan di Asia.
Booming pasar utang dipicu oleh aksi para pengelola dana pemburu imbal hasil tinggi - dengan risiko yang lebih besar - yang membelokkan dananya ke Asia setelah bank-bank utama dunia menerapkan suku bunga rendah. Sementara itu, banyak perusahaan yang semakin berani menampung dana murah dengan ekpektasi akan terjadi kenaikan biaya pinjaman pada tahun mendatang.
Namun menurunnya harga perumahan di kota-kota besar di China - lantaran kompetsisi pengembang untuk mengurangi persediaan - menyebabkan pukulan keras pada perusahaan-perusahaan properti di China. Harga obligasi mereka merosot hingga seperempatnya sejak awal Desember lalu.
Harga obligasi jangka pendek perusahaan minyak China, CNOOC Ltd., misalnya, sudah turun sekitar 2 persen dari harga tertingginya pada Juni lalu.
"Turunnya harga komoditas, membuat investor menjadi lebih berhati-hati," kata Herman van den Wall Bake, kepala fixed income pasar modal Asia, Deutsche Bank AG. Menurut Bake kurangnya likuiditas menjelang akhir tahun ikut mempengaruhi volatilitas harga obligasi. "Investor dan dealer tidak berminat untuk menambah investasinya dalam lingkungan yang seperti ini," imbuhnya seperti dikutip The Wall Street Journal, (29/12).
Harga saham juga terpengaruh karena investor menarik dananya dari emerging market Asia. Dalam tiga pekan, hingga 10 Desember lalu, EPFR dan ANZ Research mencatat adanya arus keluar dana dari pasar modal Asia sekitar US$3 miliar. Sejumlah analis mengatakan pasar ekuitas dan obligasi Asia bisa melorot lebih dalam jika investor berlomba menarik dananya meskipun kondisi eksonomi Asia relatif tenang.
"Kawasan ini cenderung akan melorot ketika kerugian mewarnai portofolio emerging market, dan fund manager mulai mengumpulkan kembali dananya untuk mengantisipasi potensi aksi jual," ujar Edwin Chan, kepala riset kredit Asia, UBS AG.
"Ketika likuiditas pasar melorot pada Desember, investor akan perlu mengamankan dengan menjual aset-aset yang masih likuid demi meningkatkan uang tunai," Chan menambahkan.
Analis lain mengatakan, perusahaan minyak Asia akan mampu berlayar menembus badai, kecuali untuk sejumlah kompetitor kecil. Sebagian besar diantaranya bahkan menikmati dukungan dari pemerintah dan menimbun banyak dana berkat kondisi operasi yang mendukung selama beberapa tahun lalu.
Namun pengembang properti akan mengalami lebih banyak penghalang, di luar langkah Beijing untuk menggenjot perekonomian. Bulan lalu, bank sentral China memangkas suku bunga acuan dan memperkenalkan langkah-langkah seperti relaksasi kemampuan bank untuk menggunakan simpanan sebagai dasar penerbitan pinjaman.
Jika harga minyak masih terus turun, "Akan ada efek spiral negatif terhadap harga-harga komoditas, seperti batubara, tembaga, CPO, dan sebagainya. Terutama, posisi neraca transaksi berjalan pemerintah Asia Tenggara akan memburuk, karena sebagian besar negara di kawasan itu merupakan eksportir besar untuk komoditas tersebut," papar Arthur Lau, kepala fixed income Asia di PineBridge Investments.
Menurut data Dealogic, hingga pertengahan Desember lalu, perusahaan minyak dan gas, serta pengembang properti Asia merupakan penerbit surat utang terbesar dengan jumlah utang mencapai US$50 miliar. Jumlah tersebut setara dengan 44 persen total penerbitan obligasi dalam dolar AS, euro dan yen, seluruh perusahaan di Asia.
Booming pasar utang dipicu oleh aksi para pengelola dana pemburu imbal hasil tinggi - dengan risiko yang lebih besar - yang membelokkan dananya ke Asia setelah bank-bank utama dunia menerapkan suku bunga rendah. Sementara itu, banyak perusahaan yang semakin berani menampung dana murah dengan ekpektasi akan terjadi kenaikan biaya pinjaman pada tahun mendatang.
Namun menurunnya harga perumahan di kota-kota besar di China - lantaran kompetsisi pengembang untuk mengurangi persediaan - menyebabkan pukulan keras pada perusahaan-perusahaan properti di China. Harga obligasi mereka merosot hingga seperempatnya sejak awal Desember lalu.
Harga obligasi jangka pendek perusahaan minyak China, CNOOC Ltd., misalnya, sudah turun sekitar 2 persen dari harga tertingginya pada Juni lalu.
"Turunnya harga komoditas, membuat investor menjadi lebih berhati-hati," kata Herman van den Wall Bake, kepala fixed income pasar modal Asia, Deutsche Bank AG. Menurut Bake kurangnya likuiditas menjelang akhir tahun ikut mempengaruhi volatilitas harga obligasi. "Investor dan dealer tidak berminat untuk menambah investasinya dalam lingkungan yang seperti ini," imbuhnya seperti dikutip The Wall Street Journal, (29/12).
Harga saham juga terpengaruh karena investor menarik dananya dari emerging market Asia. Dalam tiga pekan, hingga 10 Desember lalu, EPFR dan ANZ Research mencatat adanya arus keluar dana dari pasar modal Asia sekitar US$3 miliar. Sejumlah analis mengatakan pasar ekuitas dan obligasi Asia bisa melorot lebih dalam jika investor berlomba menarik dananya meskipun kondisi eksonomi Asia relatif tenang.
"Kawasan ini cenderung akan melorot ketika kerugian mewarnai portofolio emerging market, dan fund manager mulai mengumpulkan kembali dananya untuk mengantisipasi potensi aksi jual," ujar Edwin Chan, kepala riset kredit Asia, UBS AG.
"Ketika likuiditas pasar melorot pada Desember, investor akan perlu mengamankan dengan menjual aset-aset yang masih likuid demi meningkatkan uang tunai," Chan menambahkan.
Analis lain mengatakan, perusahaan minyak Asia akan mampu berlayar menembus badai, kecuali untuk sejumlah kompetitor kecil. Sebagian besar diantaranya bahkan menikmati dukungan dari pemerintah dan menimbun banyak dana berkat kondisi operasi yang mendukung selama beberapa tahun lalu.
Namun pengembang properti akan mengalami lebih banyak penghalang, di luar langkah Beijing untuk menggenjot perekonomian. Bulan lalu, bank sentral China memangkas suku bunga acuan dan memperkenalkan langkah-langkah seperti relaksasi kemampuan bank untuk menggunakan simpanan sebagai dasar penerbitan pinjaman.
Jika harga minyak masih terus turun, "Akan ada efek spiral negatif terhadap harga-harga komoditas, seperti batubara, tembaga, CPO, dan sebagainya. Terutama, posisi neraca transaksi berjalan pemerintah Asia Tenggara akan memburuk, karena sebagian besar negara di kawasan itu merupakan eksportir besar untuk komoditas tersebut," papar Arthur Lau, kepala fixed income Asia di PineBridge Investments.

Komentar
Posting Komentar